Penegakan Syariat Islam, Tugas Siapa ?

Penegakan Syariat Islam- Khususnya di Aceh, kata-kata syariat islam bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum bergabung dengan NKRI, Aceh sudah pernah memberlakukan syariat islam bagi segenap penduduknya. Namun kenyataannya hari ini, proses penegakan syariat islam tidak kunjung selesai. Pro dan kotra terus saja terjadi tanpa mengenal waktu. Pihak yang satu melemparkan tanggung jawab kepada pihak yang lain. Sedangkan pihak yang lain terus berdalih dengan berbagai alasan, imbasnya sampai detik ini penegakan syariat islam di aceh hanya sebagai wacana. Kalau pun ada, itu hanya sebatas pada razia baju ketat dan khalwat, tidak lebih.

Oleh karena itu, kami tertarik memposting sebuah tulisan sahabat kami di Pesantren MUDI, yaitu Teungku Waliyunis al Madadi. Semoga tulisan beliau ini dapat menjadi sebuah pengetahuan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap penegakan syariat islam.

Penegakan Syariat Islam


Islam adalah agama yang mempunyai konsep yang sempurna dan komprehensif, meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Islam secara teologis merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiah dan transenden, sementara dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban dan realitas sosial dalam kehidupan manusia.

Di sisi lain Islam ialah agama dakwah, yaitu agama yang menganjurkan bagi pemeluknya untuk menyeru kepada kebaikan dan meninggalkan kekejian (Mungkar) . Melangsungkan Dakwah Islamiah, menegakkan syariat diatas bumi Allah dan melarang keburukan atau kebatilan ialah tugas yang sangat mulia dalam Islam, bahkan al-Quran menjanjikan pelaksana Dakwah sebagai orang yang beruntung.
Keterangan ini tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104:

ولتكن منكم أمة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.

Untuk merealisasikan kalam Allah tersebut, di Nanggroe Aceh Darussalam khususnya, telah diizinkan pelaksanaan syariat Islam semenjak beberapa tahun yang lalu Melalui UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 11 Tahun 2006, nanggroe seuramo mekah ini diberikan keleluasaan untuk menerapkan hukum yang berlandaskan al-Quran dan hadist. Namun sayangnya pelaksanaan syariat yang dianggap setengah – setengah telah melahirkan pelbagai masalah, antara lain masyarakat saling tuding dan saling menyalahkan. Sebagian masyarakat menyalahkan Ulama, kerena menurut sebagian orang tugas penegakan syariat ialah tugas Ulama, sebagian kelompok masyarakat yang lain menyalahkan pemimpin, kerena pemimpin dianggap tidak serius menegakkan syariat Islam di Aceh serambi Mekkah ini. Karena itu, dalam tulisan singkat ini penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang kewajiban dan tanggung jawab penegakan syariat Islam secara kaffah.

• Pengertian Syariat Islam

Banyak sudah tulisan yang membahas tentang pengertian syariat, definisi–definisi yang kita dapatkan acapkali berbeda tapi maksud dan tujuannya sama, ada yang mendifinisikan syariat Islam sebagai ajaran Islam yang membicarakan amal manusia baik sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah . Ada juga yang mengatakan syariat Islam itu ialah sesuatu yang bersifat Universal, ianya adalah kumpulan nilai – nilai Ilahiah (Ketuhanan) yang dijadikan dasar bagi pembentukan ketentuan - ketentuan hukum, interaksi sosial, perdamaian, keadilan, ekonomi, dan sebagainya . Nampaknya pemaknaan seperti itu benar, karena Menurut Ibnu Hajar Kata Syariat, millah dan al-Din memiliki pengertian yang sama, yaitu apa saja yang disampaikan Oleh Rasulullah Saw. Tentang segala hukum-hukum . Istilah lain yang sering disebut seiring dengan syariat ialah “Kaffah”. Istilah ini disebut oleh Allah dalam al-Quran Surat al-Baqarah, 208 sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara Kaffah, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Ayat ini diturunkan disebabkan Abdullah bin Salam al-Nadhiriy dan sahabat – sahabatnya masih mengagungkan hari sabtu setelah masuk islam, mereka juga membenci daging dan susu sesuai syariat nabi Musa As. padahal keduanya dihalalkan dalam ajaran baginda Muhammad Saw., maka Allah Swt. Menurunkan ayat diatas sebagai teguran bagi Abdullah dan para sahabatnya yang islamnya masih setengah - setengah . Mengenai istilah “kaffah” ini, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelasakan:

فقال الله { ادخلوا في السلم كافة } يقول : ادخلوا في شرائع دين محمد صلى الله عليه و سلم ولا تدعوا منها شيئا وحسبكم الإيمان بالتوراة وما فيها

Maksud dari kaffah ialah memasuki islam, mengamalkan seluruh ajaran islam yang disampaikan Rasulullah Saw. Tanpa meninggalkan sedikitpun.

Al-Radhi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa makna ayat diatas ialah:

أي دوموا على الإسلام فيما تستأنفونه من العمر ولا تخرجوا عنه ولا عن شيء من شرائعه

Artinya: kekalkan dirimu dalam islam sepenjang umurmu, jangan engkau keluar dari Islam, dan jangan engkau tinggalkan secuilpun dari islam itu.

• Kewajiban Menegakkan Syariat

Acapkali manusia terjerumus dalam sikap saling menyalahkan karena masing – masing merasa tidak bersalah. Penulis sering mendengar perdebatan panas di warung kopi tentang masalah syariat, ada yang menyalahkan ulama karena dianggap tidak peduli dengan penegakan syariat, mungkin kerena mereka tidak melihat tindakan nyata dari para ulama seperti melakukan razia di jalan dan sebagainya. Sebagian orang menyalahkan pemimpin, karena dianggap melihat syariat islam sebelah mata, dan tidak nampak tindakan nyata dalam hal ini.

Maka disini perlu dikaji Siapa sebenarnya yang wajib menegakkan syariat dengan amar makruf nahi mungkar, atau tanggung jawab siapakah amar makruf nahi mungkar tersebut?, untuk menjawab pertanyaan diatas, mari kita perhatikan Sabda Rasulullah Saw. Dibawah ini:

قَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

Artinya: Rasulullah Saw. Berkata “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia menegah dengan tangannya, apabila ia tidak sanggup, maka hendaklah ia menegah dengan lidahnya, dan apabila ia juga tidak sanggup, maka hendaklah ia menegah dengan hatinya, yang demikian itu (menegah dengan hati) ialah tanda iman yang sangat lemah. (HR. Muslem)


Dari hadits diatas, terkandung beberapa makna, antara lain:

  1. Maksiat harus dicegah dengan tangan (kekuatan) bagi yang mampu melakukannya dengan tangan. Diwajibkan mencegah dengan lidah bagi yang mampu melakukan denga lidah. Apabila orang yang mampu mencegah dengan tangan, tapi beralih untuk mencegah dengan lisan saja, maka kewajibannya menegah maksiat masih belum selesai (belum terlepas kewajiban)
  2. Mungkar yang wajib ditegah ialah mungkar yang sudah pasti atau diketahui dengan jelas kejadiannya. Berita tentang kemungkaran tidak wajib direspon apabila hanya sekedar isu yang tidak jelas. Adapun berita yang disampaikan oleh orang yang dapat dipercaya, harus direspon dan diperiksa kebenarannya.
  3. Orang yang tidak membenci kemungkaran dengan hatinya pertanda imannya sangat tidak sempurna. Bahkan Ibnu mas’ud pernah berkata “Binasalah orang yang tidak mengenal dengan hatinya akan makruf dan mungkar”

Dalam Hadits yang lain Rasulullah juga menyebutkan:

إن الناس إذا رأوا المنكر فلم يغيّروه، أوشك أن يَعُمَّهُم الله بعقاب

Artinya: sesungguhnya manusia apabila mereka melihat kemungkaran dan tidak menegahnya, mungkin akan ditimpa siksa seluruhnya .

Setelah membaca penjelasan diatas, jelaslah bahwa setiap orang wajib mencegah maksiat, namun tidak semua orang mampu menegah maksiat dengan tangannya, karena tidak semua orang punya kekuatan dan kekuasaan. Tidak semua orang mampu menegah mungkar dengan lidah, karena ada sebagian orang yang tidak mau didengarkan oleh orang lain. Imam al-Ghazali menyebutkan salah satu syarat diwajibkan menegah mungkar dengan tangan ialah ada kemampuan melakukannya sebagaimana dapat dipahami pada hadits diatas, orang awam yang tidak ada kemampuan hanya diwajibkan membenci dalam hatinya terhadap suatu kemungkaran (menegah dengan hati). Karena itu, dalam menafsirkan hadits diatas, Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya:

قال العلماء: الامر بالمعروف باليد على الامراء، وباللسان على العلماء، وبالقلب على الضعفاء، يعني عوام الناس.فالمنكر إذا أمكنت إزالته باللسان للناهي فليفعله، وإن لم يمكنه إلا بالعقوبة أو بالقتل فليفعل، فإن زال بدون القتل لم يجز القتل

Artinya: Berkatalah para Ulama “Kewajiban memerintahkan yang makruf dengan tangan diperuntukkan kepada Raja-raja (presiden dan perangkat – perangkat negara), kewajiban menyampaikan yang makrur dan menegah yang mungkar dengan lisan diperuntukkan kepada para Ulama, dan kewajiban Amar makruf nahi mungkar dengan hati diperuntukkan kepada orang awam. Apabila kemungkaran mungkin dicegah dengan lisan, cukuplah dicegah dengan lisan saja, apabila harus dengan kekerasan dan memberi hukuman, maka harus dilakukan, tetapi selama kemungkaran mungkin dihilangkan atau dicegah tanpa kekerasan, tidak dibolehkan mencegah dengan kekerasan.

Dari penjelasan ini dapat diketahui dengan jelas bahwa para Ulama dan kalangan awam tidak diwajibkan menegah maksiat denga tangannya jika tidak disanggupi, kewajiban Ulama hanya menyampaikan lewat lisan, selebihnya adalah kewajiban pemimpin yang punya kekuatan dan kekuasaan. Pemimpin dan aparat pemerintahan yang punya kemampuan menegakkan syariat, berdosa jika tidak melaksanakannya, karena hal ini pula, memilih pemimpin yang adil dan taat beragama adalah hal yang sangat penting, karena jika pemimpin tidak kurang peduli terhadap agama dan syariat, kemaksiatan akan sangat merajalela, sedangkan para ulama dan orang awam tidak mampu mengegahnya dengan tangan, ulama hanya mampu berdakwah dengan lisan, dan orang awam hanya mampu berdakwah dengan hati, maka pelaku maksiat dapat melakukan apapun sesui kehendaknya tanpa larangan apalagi hukuman.

Memilih pemimpin yang adil dan siap mencegah yang mungkar serta menegakkan yang makruf merupakan “PR” yang harus segera dikerjakan oleh masyarakat Aceh khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, apalagi memilih pemimpin yang adil hukumnya wajib sebagaimana penegasan Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam kitabnya “Jauharatu al-Tauhid berikut ini:

وَوَاجِبٌ نَصْبُ اِمَـامِ عَدْلِ بِالشَّرْعِ فَاعْلَمْ لاَ بِحُكْمِ الْعَقْلِ

Memilih pemimpin yang adil itu kewajiban, karena perintah Allah bukan perintah akal

Jika orang awam, ulama dan pemimpin memegang perannya masing – masing dalam penegakan syariat, yaitu Ulama yang menyampaikan mana yang makruf dan yang mungkar, pemimpin dan petugas negara yang mencegah langsung praktek maksiat atau mungkar, sedang orang awam yang sadar akan kewajiban mentaati perintah Allah dan rasul membenci kemaksiatan dalam hatiny, juga berusaha mencegah semapunya, insya Allah syariat islam di Aceh akan segera mengapakkan sayapnya.

• Batasan-Batasan dalam Penegakan Syariat.

Salah satu kebutuhan manusia ialah kebutuhan rohaniah, yang menyangkut kebutuhan kepada agama atau dakwah Islamiah. Setiap manusia sebagai anggota masyarakat membutuhkan kepada ajaran agama, setiap manusia membutuhkan kepada ketenangan batin dalam hidupnya, bahkan ada anggapan kebutuhan rohani ini lebih utama dari semua kebutuhan yang lain, namun manusia yang kesilapan atau lalai seolah tidak menyadari akan kebutuhannya kepada agama. Disinilah para Da’i dan penegak syariat berperan, mengemban tugas suci untuk mengajak manusia kepada jalan yang benar. Berbagai cara harus diterapkan oleh sang da’i dalam melaksanakan tugas mulia tersebut, bahkan sampai pada penegakan syariat islam melalui cara yang keras (radikal). Radikalisme dalam penegakan syariat acapkali membuat masyarakat marah bahkan membenci kepada penegak syariat itu sendiri. Bagaimana seharusnya penegakan syariat dilakukan..?

Menurut hemat penulis, penegakan syariat Islam (amar makruf dan nahi mungkar) sebaiknya dimulai dari cara yang paling lembut. Pihak berwenang dalam maslah ini seperti WH (Wilayatul Hisbah) di Aceh sebaiknya memulai penegakan syariat dengan sosialisasi syariat itu sendiri, karena masih banyak masyarakat yang tidak tau bahwa yang dikerjakannya itu maksiat alias melanggar syariat. Ini sangat penting menurut kami, dengan sosialisasi masyarakat dapat mengetahui pentingnya penegakan syariat, sekaligus masyarakat dapat menanyakan langsung jika ada hal – hal yang dianggap ganjil dalam penegakan syariat. Banyak masyarakat yang merasa penegakan syariat seperti yang sudah berlaku sekarang di Aceh tidak penting, karena syariat sudah ada dari masa Rasulullah Saw., jadi tidak perlu ditegakkan lagi secara resmi oleh negara, disini penulis tidak membahas hal ini, tapi yang jelas dengan adanya sosialisasi, hal – hal semacam ini dapat diluruskan.

Dayah, Balai pengajian dan majlis taklim di Aceh secara tidak langsung merupakan pelaku sosialisasi syariat, namun jumlah masyarakat yang mengikuti kegiatan pengajian di desa – desa dan di kota amat sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah masyarakat. Hal ini dapat disaksikan di semua daerah di Aceh. Rasa antusias masyarakat mengikuti kegiatan pengajian dan majlis taklim sangat kecil. Berangkat dari kenyataan ini, menurut penulis sangat penting bagi pihak Dinas syariat untuk mengarahkan masyarakat supaya mengikuti kegiatan pengajian dan majlis taklim di Daerahnya masing – masing.

Setelah hukum Islam atau aturan syariat diperkenalkan dan disosialisasikan barulah diberi tindakan kepada yang melanggar, namun sebaiknya orang yang baru kali pertaman melanggar dipanggil dan dinasehati dengan nasehat yang baik agar dia tidak mengulangi lagi perbuatannya. Setelah dua tingkatan dibelakang ditempuh, barulah diambil tindakan yang pantas bagi pelanggar syariat.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ulumiddin menjelaskan bahwa tidak boleh bagi penegak syariat menghancurkan atau membakar alat – alat maksiat jika tidak diperlukan, misalnya untuk mencegah remaja bermain gitar tidak perlu membakar gitar yang ada ditangannya, cukup diambil dan dirusak, apalagi material gitar bisa dimanfaatkan lagi, seperti dibelah dan dijadikan materialnya dijadikan penutup lobang dinding rumah misalnya.

Hal ini sangat penting diketahui, kerena acapkali penegak syariat ditarik oleh rasa marahnya untuk mengambil tindakan yang sangat kasar terhadap pelaku maksiat. Celana jeans yang dikenakan oleh kaum hawa sebenarnya bisa saja disita dan dimanfaatkan, ketimbang dibakar atau dirobek.

Semoga syariat Islam di Aceh dapat terus mengepakkan sayapnya dan dapat dijadikan daerah percontohan bagi daerah – daerah lain. Wallahu A’lam.

Itulah artikel tentang penegakan syariat islam, semoga bermanfaat dan dapat menjadi pelajaran. Aminn

0 Response to "Penegakan Syariat Islam, Tugas Siapa ?"